BERTAMBAH lagi jajaran politisi sekaligus pengusaha yang berkecimpung dalam bisnis pelabuhan di Tanah Air. Yang dimaksud adalah Rachmat Gobel, wakil ketua DPR-RI dan politisi dari Partai Nasdem. Melalui PT Gotrans Logistic International miliknya, pemerintah telah menunjuk yang bersangkutan untuk mengembangkan Pelabuhan Anggrek di Provinsi Gorontalo. Bersama PT Anugerah Jelajah Indonesia Logistic, PT Titian Labuan Anugerah dan PT Hutama Karya, perusahaan tersebut membentuk konsorsium Anggrek Gorontalo Internasional Terminal yang akan mengembangkan pelabuhan itu dengan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU). Dalam catatan penulis, pengembangan Pelabuhan Anggrek merupakan proyek kedua dengan skema yang sama.
Pelabuhan Patimban, Subang, Jawa Barat, juga menerapkan konsep KPBU dalam pembangunannya. Menariknya, dalam perusahaan yang mengelolanya, yaitu PT Pelabuhan Patimban Internasional, ada juga saham politisi sekaligus menteri di dalamnya. Sah-sah saja. Tidak ada aturan yang melarang para politisi berbisnis. Paling masalah etis saja. Who cares? Orang tidak peduli sepertinya dengan isu ini sekarang. Skema KPBU (istilah lainnya dalam Bahasa Inggris adalah public private partnership atau PPP) diluncurkan oleh Kementerian Keuangan untuk menutupi kekurangan dana pembangunan infrastruktur. Belakangan, pemerintah mengintroduksi model pembiayaan pembangunan pelabuhan lainnya, yaitu dengan memanfaatkan sovereign wealth fund. Sayang, di sektor pembangunan pelabuhan sepak terjangnya belum terdengar moncer.
Paling tidak oleh saya. Selain Pelabuhan Anggrek, Pelabuhan Bau-Bau juga akan dikembangkan dengan skema KPBU. Tak hanya itu, terdapat 12 pelabuhan lainnya yang tengah disiapkan oleh Kemenhub untuk di-KPBU-kan seperti Belang-Belang, Tahuna, Tobelo, Wanci, Serui, Kaimana, Pomako, Saumlaki, Dobo, Banggai, Labuan Bajo, dan Namlea. Sampai di sini, everything is fine dan patut diapresiasi. Harapan akan rampungnya proyek-proyek pelabuhan yang saat ini sedang terbengkalai karena ketiadaan dana tentu saja bisa bersemi kembali. Namun, sesederhana itukah persoalan pembiayaan pembangunan pelabuhan, wa bil khusus dengan menggunakan skema KPBU/PPP? Perencanaan pelabuhan di Indonesia memiliki alur tersendiri yang, secara teori, merangkak naik dari bawah menuju ke atas (bottom up).
Pemerintah daerah, melalui Dinas Perhubungan masing-masing, merencanakan pembangunan pelabuhan di daerah mereka melalui forum Musrenbang. Namun, yang namanya teori, pada praktiknya bisa berlaku hal sebaliknya. Artinya, perencanaan pelabuhan dimulai, kalau tidak mau disebut digerakan, dari atas lalu mengalir ke bawah alias top down. Maksudnya begini, pemerintah pusat – dalam hal ini Kementerian Perhubungan – bisa saja “turun gunung” mengintervensi proses perencanaan pada level pemda tadi. Hal itu dimungkinkan karena Kemenhub memiliki akses yang intensif ke dalam plotting dana infrastruktur di Bappenas. Dengan info A1 ini, Kemenhub dapat “menitipkan” proyek mereka ke dalam perencanaan pelabuhan pemda. Di samping itu, sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 71 ayat 4, kewenangan terakhir penetapan pelabuhan toh ada di tangan Menteri Perhubungan.
Penetapan Menhub itu dituangkan ke dalam sebuah dokumen yang diberi nama Rencana Induk Pelabuhan Nasional yang masa berlakunya selama 20 tahun. Pada semua level perencanaan pelabuhan yang telah diuraikan di muka, terlihat dengan gamblang bahwa peran swasta minim jika tidak hendak disebut tidak ada sama sekali. Paling tidak secara formal, entahlah kalau informal atau lobi high politics. Peran swasta inilah yang difasilitasi melalui skema KPBU/PPP. Namun, kebijakan ini memiliki center of gravity yang dapat mendeviasi maksud dan tujuan diadopsinya model pembiayaan ini.
Pelibatan swasta dalam masa injury time untuk menyelesaikan pembangunan pelabuhan yang sudah berjalan namun tersengal karena dana APBN yang seret berpeluang melemahkan taji KPBU/PPP. Sehingga, alih-alih mendapatkan investasi dari mereka yang ada malah tidak digubris sama sekali. Memang, terlalu dini memvonis bahwa skema tersebut tidak akan berjalan efektif. Dan, nyatanya dua perusahaan sudah menjalankan model ini. Yang saya ingin katakan adalah kadar trial and error dalam KPBU amat tinggi. Biarlah waktu yang akan menjawabnya. Sekadar catatan, semua pelabuhan yang akan di-KPBU-kan, dan sebetulnya juga pelabuhan lain yang dibangun serta dikelola oleh Kemenhub melalui “sayap bisnisnya”, yaitu Unit Pengelola Pelabuhan (UPP), didirikan ala kadarnya. Pembangunan dilakukan hanya sekadar untuk penyerapan anggaran.
Bila pelabuhan yang dibangun itu berkembang dengan baik, syukurlah. Jika sebaliknya, nggak apa-apa. Yang penting kewajiban institusional untuk membangun infrastruktur yang diamanatkan oleh negara sudah dijalankan. Ini yang pertama. Kedua, pelabuhan-pelabuhan yang masuk dalam skema pembiayaan KPBU/PPP dari sisi bisnis tidak atau kurang menjanjikan. Tidak ada feasibility study yang memadai, terutama terkait potensi hinterland pelabuhan (daerah belakang atau bahasa sederhananya pusat kargo). Bagi sebuah pelabuhan hinterland adalah daya tarik bagi kapal-kapal. Manakala kargo tersedia cukup di daerah belakang pelabuhan, maka kapal-kapal akan berdatangan dengan sendirinya. Dalam program tol laut, kapal-kapal yang dioperasikan oleh operator BUMN maupun swasta bergerak dari bagian barat Indonesia, khususnya pulau Jawa, dengan muatan penuh menuju pelabuhan destinasi di kawasan timur Nusantara.
Ketika pulang, kapal-kapal ini hanya memuat setengah, bahkan ada yang tidak sampai setengah, dari kapasitas yang tersedia. Kargo di pelabuhan tujuan tidak cukup tersedia. Untuk ruang muat kapal yang tidak terisi ketika kapal berlayar kembali ke barat, pemerintah memberikan subsidi kepada operator kapal. Tidak hanya subsidi untuk kapal, pemerintah malah membangun kapal-kapal baru yang dioperasikan oleh BUMN pelayaran (Pelni, ASDP, Djakarta Lloyd) dalam trayek tol laut. Dengan karakteristik pelabuhan yang akan di-PPP-kan seperti itu, rasanya tidak akan ada investor yang mau terlibat dalam menyelesaikan pembangunan pelabuhan yang terbengkalai atau pembangunan baru. Mereka akan berhitung untung dan rugi ikut skema pembiayaan yang ditawarkan oleh pemerintah. Bukankah investasi mereka akan dikompensasi dengan hak pengelolaan pelabuhan? Ya. Sayangnya, akan muncul sejumlah komplikasi yang bisa jadi akan makin menyurutkan niat mereka. Misalnya, calon investor (penulis memperkirakan mereka sepertinya bukan entitas yang bergerak khusus dalam bisnis pelabuhan) harus mendirikan badan usaha pelabuhan sebelum mengelola pelabuhan.
Bisa juga mereka bermitra dengan perusahaan yang sudah mengantongi BUP dan membuat anak usaha. Selanjutnya, mereka harus mendapatkan konsesi dari Kemenhub. Langkah-langkah ini risky dan sudah ada sejumlah perusahaan yang tersandung karenanya dan berujung di pengadilan.